Urgensi Kebijakan Cukai Rokok untuk Kesejahteraan Masyarakat

PENELITIAN menunjukkan bahwa peningkatan harga rokok melalui cukai yang lebih tinggi memiliki dampak signifikan dalam mengurangi konsumsi rokok, terutama di kalangan perokok aktif. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif di Indonesia diperkirakan mencapai 70 juta orang.

Di Indonesia harga rokok tergolong rendah karena rendahnya cukai rokok dan rumitnya struktur tarif cukai.

Menurut Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021 menyebutkan bahwa jumlah perokok dewasa bertambah sebanyak 8,8 juta orang, dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta ditahun 2021.

Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menaikkan cukai rokok. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi konsumsi rokok dengan menaikkan harga jualnya, sehingga mengurangi daya beli terutama di kalangan anak-anak dan remaja.

Dengan menurunnya tingkat konsumsi rokok, prevalensi penyakit yang disebabkan oleh rokok seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, dan gangguan pernapasan diperkirakan akan berkurang. Hal ini dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi beban pembiayaan layanan kesehatan.

Selain itu, peningkatan cukai rokok juga dapat menjadi sumber pendapatan negara yang signifikan, yang bisa dialokasikan untuk pembiayaan program kesehatan, pendidikan, atau pembangunan lainnya.

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020- 2024, pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun minimal menjadi 8,7 persen ditahun 2024.

Kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) merupakan bagian dari upaya mencapai target tersebut, guna mendorong peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.

Peran pemerintah dalam kenaikan cukai rokok dapat dilakukan dengan pengaturan tarif yang progresif, distribusi Dana Bagi Hasi (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT), pengawasan terhadap rokok ilegal dan penyediaan alternatif untuk petani tembakau.

DBH CHT merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan dukungan terhadap petani/buruh tani tembakau serta buruh rokok. Di tahun 2021, 25 persen alokasi DBH CHT akan diarahkan ke sektor kesehatan. Sedangkan 50 persen diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas bahan baku dan peningkatan keterampilan kerja (diversifikasi pertanian untuk petani tembakau).

Selain itu transformasi industri untuk pekerja rokok, penyediaan kredit dan pendanaan, mendorong ekspor produk non-rokok, dukungan sosial dan jaminan penghasilan. 25 Persen sisa dari dana tersebut untuk penegakan hukum.

Kebijakan ini memerlukan keseimbangan antara kepentingan kesehatan publik dan ekonomi, termasuk mempertimbangkan dampaknya terhadap industri tembakau, tenaga kerja, serta masyarakat berpenghasilan rendah yang terpengaruh oleh kenaikan harga.

Solusi untuk petani dan pekerja rokok memerlukan kebijakan lintas sektor yang berfokus peningkatan keterampilan kerja melalui Diversifikasi Pertanian untuk Petani Tembakau), Transformasi Industri untuk Pekerja Rokok, Penyediaan Kredit dan Pendanaan, Mendorong Ekspor Produk Non-Rokok, Dukungan Sosial dan Jaminan Penghasilan.

Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, dampak negatif dari menurunnya penggunaan rokok dapat diminimalkan. Sekaligus menciptakan peluang baru yang lebih berkelanjutan.

Referensi :

https://satusehat.kemkes.go.id/platform/docs/id/interoperability/ubm/#:~:text=Berdasarkan%20data%20Survei%20Kesehatan%20Indonesia,terkait%20layanan%20upaya%20berhenti%20merokok.

BPJS Kesehatan. 2018. Peranan BPJS Kesehatan dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan. Dipresentasikan oleh Dr. Maya A. Rusady dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional kementerian Kesehatan.

 

Penulis : Lintang Rachma Dewaty, S.Farm., Apt,

Mahasiswi S2 Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Maju (UIMA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *